"Viral 'Skincare Halal vs Haram': Antara Penyederhanaan Agama, Hoaks Kesehatan, dan Bisnis Milenial"
Trend "skincare halal vs haram" meledak di TikTok, dipicu oleh sejumlah kreator konten yang dengan tegas mengklasifikasikan produk berdasarkan kandungan seperti alkohol, pigmen CI tertentu, atau bahan turunan (derivatif) babi. Namun, di balik viralitasnya, tersimpan bahaya penyederhanaan ajaran agama dan penyebaran hoaks.
Pertama, penting merujuk pada fatwa resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI menjelaskan bahwa alkohol untuk produk luar (seperti skincare) yang tidak dikonsumsi dan tidak memabukkan, statusnya adalah makruh, bukan haram. Sementara untuk bahan turunan babi, jika telah melalui proses kimiawi yang mengubah sifat aslinya (istihalah), statusnya bisa menjadi suci dan halal menurut sebagian ulama. Klaim-klaim absolut tanpa dasar ilmu yang kuat justru menyesatkan.
Kedua, narasi ini sering kali didorong oleh kepentingan bisnis. Banyak akun yang setelah membuat konten "menakut-nakuti", justru menawarkan produk skincare "jaminan halal" atau menjadi affiliate marketer merek tertentu. Ini adalah strategi pemasaran yang memanfaatkan sentimen agama.
Ketiga, fenomena ini mencerminkan budaya fearmongering (menyebarkan ketakutan) di kalangan konsumen muslim milenial. Alih-alih mendorong literasi yang benar, konten-konten seperti ini justru menciptakan kecemasan dan polarisasi. Solusinya adalah meningkatkan literasi keagamaan yang komprehensif dan kritis terhadap konten di media sosial, serta selalu merujuk pada sumber otoritatif seperti MUI.




